Jakarta Butuh Revolusi Budaya!

Pedagang Kakilima Dan Informalitas Perkotaan

Posted on: April 3, 2008

mie_ayam.jpgSeringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan pedagang kakilima (PKL) di perkotaan Indonesia. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas ataupun merusak keindahan kota. Upaya penertiban ini kadangkala melalui bentrokan dan perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pemerintah pun dihujatnya dan masalah PKL ini disebutkan sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin.

Benarkah fenomena PKL ini sebagai wujud kurangnya lapangan kerja bagi penduduk miskin? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan kemukakan konsep informalitas perkotaan (urban informality) sebagai kerangka pikir untuk memahami fenomena PKL yang terjadi di kawasan perkotaan.

Informalitas Perkotaan

Konsep informalitas perkotaan ini tidak terlepas dari dikotomi sektor formal dan sektor informal yang mulai dibicarakan pada awal tahun 1970-an. Fenomena sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi di negara-negara berkembang. Persentase sektor informal di negara-negara Dunia Ketiga seperti di Amerika Latin, Sub-sahara Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total tenaga kerja. Di Indonesia, menurut data Indikator Ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik (BPS), November 2003, 64,4 persen penduduk bekerja di sektor informal. Di pedesaan, sektor informal didominasi oleh sektor pertanian (80,6 persen), sementara di perkotaan didominasi oleh sektor perdagangan (41,4 persen).

Meskipun pembahasannya telah dilakukan lebih dari tiga puluh tahun, tidak ada konsensus mengenai definisi pasti dari sektor informal (Maloney, 2004). Pengertian sektor informal ini lebih sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. Dikotomi kedua sektor ini paling sering dipahami dari dokumen yang dikeluarkan oleh ILO (1972). Badan Tenaga Kerja Dunia ini mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor tersebut: (1) kemudahan untuk masuk (ease of entry), (2) kemudahan untuk mendapatkan bahan baku, (3) sifat kepemilikan, (4) skala kegiatan, (5) penggunaan tenaga kerja dan teknologi, (6) tuntutan keahlian, dan (7) deregulasi dan kompetisi pasar.

Pembahasan dikotomi tersebut acapkali mengabaikan keterkaitan sektor informal dengan aspek ruang dalam proses urbanisasi. Padahal seperti dapat kita amati di Indonesia ataupun di negara-negara berkembang lainnya, perkembangan sektor informal seiring dengan urbanisasi dan perubahan ruang perkotaan.

Ananya Roy dan Nezar Alsayyad (2004), melalui bukunya Urban Informality: Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America and South Asia, mengenalkan konsep informalitas perkotaan sebagai logika yang menjelaskan proses transformasi perkotaan. Mereka tidak menekankan dikotomi sektor formal dan informal tetapi pada pengertian bahwa informalitas sebagai sektor yang tidak terpisah dalam struktur ekonomi masyarakat. Menurut mereka, informalitas ini adalah suatu moda urbanisasi yang menghubungkan berbagai kegiatan ekonomi dan ruang di kawasan perkotaan.

Menurut pengamatan mereka pada kota-kota di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia, perumahan dan pasar lahan informal tidak hanya merupakan domain bagi penduduk miskin tetapi penting pula untuk penduduk kelas menengah. Demikian pula dengan sektor-sektor informal yang baru banyak berlokasi di pinggiran kota. Dapat dikatakan bahwa perkembangan kawasan perkotaan disebabkan oleh urbanisasi informal.

Teori-teori Perkotaan

Terdapat dua teori perkotaan yang dikenal saat ini: Sekolah Chicago Sosiologi Perkotaan (the Chicago School of Urban Sociology) dan Sekolah Los Angeles Geografi Perkotaan (the Los Angeles School of Urban Geography) didasarkan pada fenomena perkotaan yang terjadi pada kota-kota di negara maju (Chicago dan Los Angeles). Kedua sekolah perkotaan ini telah mendominasi wacana dalam perkotaan dan urbanisasi, bukan hanya di Amerika Serikat dan Eropa tapi juga di negara-negara berkembang.

Sekolah Chicago Sosiologi Perkotaan yang dikembangkan pada awal tahun 1920-an menjelaskan perkembangan perkotaan dikendalikan oleh migrasi yang menghasilkan pola-pola ekologis seperti invasi, survival, asimilasi, adaptasi dan kerjasama. Sekolah Los Angeles Geografi Perkotaan digagaskan pada akhir tahun 1990-an untuk menjelaskan perkembangan metropolitan Los Angeles di era postmodern yang menekankan pentingnya peran ekonomi kapitalis dan globalisasi ekonomi politis.

Dominasi kedua sekolah perkotaan tersebut, khususnya Sekolah Chicago, dalam wacana perkembangan perkotaan di negara-negara berkembang sedikit banyak berpengaruh terhadap perencanaan tata ruang perkotaan di negara-negara tersebut. Praktek-praktek perencanaan yang direplikasi melewati dikotomi negara maju dan berkembang adalah hal lumrah terjadi. Sejauh replikasi tersebut relevan dengan kondisi negara-negara berkembang, tidaklah hal tersebut menjadi masalah. Namun tidaklah demikian dengan fenomena perkembangan sektor informal di tengah-tengah pesatnya perkembangan perkotaan di negara-negara berkembang. Kedua sekolah perkotaan tersebut tidak menjawab fenomena sektor informal di negara-negara berkembang.

Pedagang Kakilima di Perkotaan

Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. Mereka bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan.

Menjawab pertanyaan yang saya ajukan di awal tulisan ini, PKL bukanlah wujud dari kurangnya lapangan pekerjaan di perkotaan. Lapangan pekerjaan yang mereka lakukan adalah salah satu moda transformasi dari masyarakat berbasis pertanian ke industri dan jasa. Mengingat kemudahan untuk memasuki kegiatan ini berikut dengan minimnya tuntutan keahlian dan modal usaha, penduduk yang bermigrasi ke kota cenderung memilih kegiatan PKL.

Ketersediaan lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya indikator ketersediaan lapangan kerja. Keberadaan sektor informal pun adalah wujud tersedianya lapangan kerja. Cukup banyak studi di negara-negara Dunia Ketiga yang menunjukkan bahwa tidak semua pelaku sektor informal berminat pindah ke sektor formal. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya adalah lebih menarik ketimbang menjadi pekerja di sektor formal.

Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL.

Dominasi Sekolah Chicago dalam praktek perencanaan kota di negara-negara Dunia Ketiga termasuk di Indonesia menyebabkan banyaknya produk tata ruang perkotaan yang tidak mewadahi sektor informal. Kegiatan-kegiatan perkotaan didominasi oleh sektor-sektor formal yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Alokasi ruang untuk sektor-sektor informal termasuk PKL adalah ruang marjinal. Sektor informal terpinggirkan dalam rencana tata ruang kota yang tidak didasari pemahaman informalitas perkotaan.

Penutup

Fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogyanya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL akan menempatkan sektor informal sebagai bagian terintegral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL.

14 Responses to "Pedagang Kakilima Dan Informalitas Perkotaan"

Tulisan yang sangat berbobot, akhirnya ada artikel tentang tata kota di JBRB. Terima kasih kepada Pak Deden atas kontribusinya.

Mengenai masalah pedagang kakilima, menurut saya masalah ini merupakan sebuah dilema bagi masyarakat Jakarta dan pemerintah lokal. Selama ini pedagang kakilima itu dibenci tapi juga dicintai. Bingung kan. Mereka dibenci karena dianggap bersalah telah membuat Jakarta menjadi lebih kotor dan jorok, tapi mereka juga dicintai karena selalu menawarkan produk yang murah dan meriah.

Tapi, bukan berarti karena peminat pedagang kakilima sangat tinggi lalu mereka tidak bisa ditertibkan. Sebuah rancangan tata kota yang komprehensif tetap harus dijalankan sehingga kita dapat mewujudkan kota Jakarta yang indah dan nyaman, dan pedagang kakilima harus termasuk di dalamnya.

Ide yang disampaikan oleh Pak Deden bisa menjadi sebuah solusi.

Terima kasih.

Fenomena PKL di perkotaan yang berasosiasi dengan kesemrawutan, tidak tertib dan jorok memang sebuah wujud “tidak nyambungnya” antara perencanaan tata kota dengan transformasi masyarakat ini. Jaka sembung naik ojek, tidak nyambung Jack! Sudah banyak ekonom dan urban planners yang menyuarakan kepentingan mereka, namun perencanaan tata kota Jakarta serta kota-kota lainnya di Indonesia tetap masih kejam bagi kelompok masyarakat ini. Tidak kurang bukti nyata sewaktu krismon satu dekade lalu yang melumpuhkan seluruh aspek perekonomian kecuali sektor ini yang gagah bertahan, keberadaan pkl di ibukota dan kota-kota lainnya tetap masih belum mendapat tempat yang selayaknya. Banyak kejadian mereka malah dikejar dan diburu seperti kriminal.

Alih-alih memfasilitasi dan memberi lahan khusus agar lingkungan kelihatannya menjadi cantik, aparat kelurahan masih memperdagangkan emperan gedung, trotoar, dan lahan-lahan kosong dengan harga tinggi dan tiap bulan mengutip “pajak liar.”
Jika aparat tidak melakukan pengutipan, maka kaki tangannya (baca: preman) yang bergerak. Harga lahan trotoar sepanjang 2-3 meter lima tahun lalu berkisar 5-10 juta. Prime location bisa mencapai 15-20 juta. Di sudut-sudut kota yang telah diinvasi lebih lama oleh pkl, jual beli lahan dagang ini telah ditangani oleh para preman dengan harga yang lebih tinggi. Bisnis “real estate” ini agak unik, karena “ownership” lahan tidak perlu bukti, cukup kuat-kuatan klaim dan pengaruh. Tukang bakar jagung menunjukan bukti “ownershipnya” dengan abu yang tersebar di lahan tersebut.

Sistem ekonomi informal ini gagal ditangkap oleh pemerintah. Lembaga keuangan rakyat, BPR, masih tetap meminta berbagai dokumen kolateral formal sebelum dapat memberi pinjaman. Sehingga, satu-satunya sumber keuangan bagi para pkl pemula adalah rentenir, para babe yang doyannya ongkang-ongkang kaki. Kalau saja bukti “ownership” abu bekas bakaran jagung dapat dijadikan sebagai jaminan, maka usaha pkl dan sektor informal lainnya akan berkembang sebagaimana para pedagang sektor formal. Dengan jalan itu pula, secara gradual mereka akan pelan-pelan masuk dalam tata ekonomi formal seiring dengan berkembangnya usaha mereka.

Upaya penertiban pkl tidak diperlukan. Yang mereka perlukan adalah pembinaan. PKL perlu dibina dalam mengembangkan usahanya. Tentu saja dengan instrumen dan sistem perbankan yang totally berbeda. Pendidikan informal mengenai akuntansi dan manajemen bisnis sangat diperlukan. Kalau usahanya berkembang, maka penataan lingkungan tata kota yang bersih, indah dan tertib akan jauh lebih mudah dilakukan.

Wah kalau yang kasih komentar seorang ahli memang beda, panjang dan berisi. 🙂

Pandangan Pak Harris sangat menarik karena melihat dari sudut pandang yang berbeda. Pembinaan PKL tampaknya cukup menjanjikan tapi menurut saya hal tersebut akan sangat sulit untuk dilakukan karena jumlah PKL yang sangat banyak dan menyebar.

Namun begitu menurut saya pendapat Pak Deden dan Pak Harris dapat digabungkan. Jadi, sebelum PKL mendapat binaan mereka dikumpulkan terlebih dahulu di lahan khusus sehingga pembinaan dapat lebih mudah dilakukan. Dalam melakukan hal tersebut, pemerintah daerah harus aktif menjalin kerja sama dengan daerah-daerah lain untuk mengurangi arus urbanisasi ke Jakarta.

Sudah saatnya PKL mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah. Hal ini penting karena mereka adalah salah satu penggerak ekonomi. Sudah saatnya pemerintah daerah melakukan sebuah terobosan baru yang bersifat win-win solution. Di satu sisi kota bisa terlihat lebih cantik dan di sisi lain PKL bisa mendapat untung lebih banyak. Apakah mungkin? Kenapa tidak asalkan ada kemauan yang kuat dari pihak-pihak yang terkait.

Masalahnya saat ini, pemerintah DKI Jakarta tidak menghormati rancangan tata kota yang mereka miliki sendiri. Ironis memang. Pak Deden pasti lebih banyak tahu soal ini. Pengusaha dapat membangun pusat perbelanjaan mewah di lahan hijau dengan mudah sementara PKL terus-terusan diusir dan digrebek. Kalau sudah begini, bagaimana Jakarta bisa bersaing dengan Kuala Lumpur atau Bangkok?

Pemahaman informalitas perkotaan dalam menyikapi fenomena PKL tidak berarti banyak jika metode yang masih diagungkan adalah pendekatan dari atas ke bawah. Penyediaan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL akan jadi jalan buntu jika ruang kota itu minim akses.

Jika ruang kota itu terpencil. Minim akses transportasi. Banyak bandit berkedok jagoan. Banyak jagoan pakai topeng bandit.

Tentu tak banyak pembeli hadir. Pasti, tak sedikit PKL akan kabur dan lebih memilih berdagang di pinggir-pinggir jalan utama.

Jalan yang banyak dilalui orang. Jalan yang jadi etalase kota.

Persis seperti penyediaan lokasi baru bagi pedagang sejumlah pasar tradisional yang terbakar dalam “ritual” kebakaran. Lokasi baru yang terpencil menyebabkan para pedagang itu memilih untuk bertransformasi jadi PKL.

Diperlukan pemahaman dan implementasi utuh metode partisipatif. Bukan sekadar “kita” yang menjadi penentu nasib PKL. Tetapi biarkanlah PKL itu menentukan apa yang terbaik menurut mereka. Dari sudut pandang mereka. Menggunakan pisau analisis mereka sendiri.

Biarlah pemerintah jadi regulator dan fasilitator saja. Dimanakah “kita” bisa mengambil peran? Paling baik tentu mencoba juga menjadi fasilitator itu.

Berdasarkan Perda DKI Jakarta Nomor 8/2007 soal ketertiban umum, tersebutlah banyak sekali larangan bagi kaum miskin kota buat bernafas di Jakarta. Pasal 27, yang relevan dengan diskusi ini, menyebutkan larangan tegas segala bentuk usaha di jalan atau tempat umum.

Larangan bagi PKL untuk ada.

Padahal, tempat umum dan jalan adalah tempat orang-orang berkumpul. Artinya potensi pasar. Ada kemungkinan menangguk untung.

Bayangkanlah lonjakan angka kriminalitas jika Perda DKI Jakarta Nomor 8/2007 soal ketertiban umum ini diberlakukan secara keras dan tegas. Untunglah, dalam hal ini argumen klasik Pemrov DKI Jakarta soal keterbatasan personilnya bisa sedikit berguna.

Inilah, lagi-lagi, kegagalan pemerintah untuk menyerap fenomena yang terjadi pada kehidupan masyarakat di bawah kepemimpinan mereka. Tanpa metode partisipatif. Tidak pernah mendengar. Selalu saja jadi pihak pemutus kebijakan berdasarkan asumsi yang dibangun nyaris tanpa data.

Pasti, hanya kepastian soal modal dan komisi untung yang jadi bahan pertimbangan utama. Sebuah logika yang terlihat nyata saat banyak hipermarket dengan modal besar dan jaringan menggurita semakin merajalela di tengah kota. Mematikan banyak sekali pedagang tradisional yang berjuang sejak mula dengan akal dan dengkul sendiri.

Sekolah Chicago setidaknya mengajarkan pada kita soal pentingnya komitmen pemerintah, lokal atau nasional, dalam menyediakan berbagai kegiatan guna menekan tingkat kriminalitas. Seperti perkemahan musim panas dan kompetisi olahraga bagi kaum muda guna menekan tingkat kejahatan kota di Chicago.

Bedanya komitmen pemerintah pada solusi buat menekan angka kriminalitas seperti paparan di atas, mesti dilengkapi dengan dukungan finansial tanpa putus. Soalnya, kegiatan pembangunan komunitas seperti itu bukanlah hal yang bisa mendatangkan untung bagi pelakunya.

Nah, pada kasus PKL, tak perlu rasanya pemerintah terus menggelontor dengan jaminan ketersediaan finansial setiap waktu. Toh, jiwa yang bersemayam di setiap PKL sejati adalah pemahaman mereka akan konsep seorang entrepreneur.

Pengusaha.

Jadi, cukuplah pemerintah jadi fasilitator dan regulator. Selanjutnya biarkan PKL berinovasi.

Pak Deden tulisan yang sangat menarik dan inspiratif, banyak pemikiran baru dan wawasan yang dapat saya gali disini. Terima Kasih.
Pak Harris komentar anda sederhana namun tetap berkelas, saya sangat menyukai gaya bahasa anda, salam kenal Pak. Terima Kasih
Ada beberapa poin yang menarik di atas yang menurut saya perlu dibahas lebih mendalam, seperti, lahirnya orang miskin perkotaan dan solusi untuk mengatasinya. Lalu Apakah Otonomi dan Pemekaran wilayah menjadi solusi untuk semua ini. Ini diperlukan sehingga orang awam seperti saya dapat mengerti lebih dalam bahasan tersebut di atas.
Jika PKL adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah konsep perkotaan, maka seharusnya “membasmi” mereka bukan solusi yang tepat. Tetapi di lain pihak, langkah dari pemerintah pusat/daerah untuk menertibkan para PKL dengan cara destruktif yang terkesan sangat arogan dan bodoh (sejujurnya saya adalah konsumen setia Pasar Poncol di kawasan Senen yang pada saat itu hadir untuk memberikan dukungan untuk pedagang disana Hehehe) telah menjadi harga mati dalam “membina” PKL. Karena Langkah destruktif dalam penertiban PKL di wilayah perkotaan adalah salah satu cara yang dinilai paling efektif dalam mensukseskan Perda.Walaupun akhirnya alokasi lahan dagang telah menjadi solusi yang mujarab bagi PKL di ibukota, tanpa harus menghancurkannya. Tetapi cara inipun dinilai tidak efektif dan memberatkan para pedagang, banyak cerita-cerita miring selain disebutkan Pak Harris di atas yang muncul dengan cara-cara Pemerintah menangani PKL. Memang sangat tidak adil menunjuk bahwa pemerintahlah aktor di balik munculnya masalah PKL di perkotaan. Karena kalau kita berpendapat bahwa pemerintah adalah dalang dibalik semua ini maka kita harus menarik garis lurus ke belakang bahwa sebab dari masalah ini semua adalah tidak tumbuh berkembangnya ekonomi dan pendidikan daerah penunjang perkotaan sehingga terjadi urbanisasi yang akhirnya melahirkan orang miskin perkotaan.Walapun pada kenyataannya asumsi seperti ini belom tentu benar, tapi secara umum akhirnya masyarakat mulai berani menyimpulkan pendapat bahwa ini semua gara-gara tidak adanya pola baku pembangunan di negara ini. Setiap ganti pemimpin, ganti konsep. Setiap ganti konsep, ganti pelaksana. Setiap ganti pelaksana, ganti cara. Setiap ganti cara, nambah persoalan baru.
Menurut saya permasalahan PKL harus dijjawab pemerintah pusat/daerah dengan cara yang dingin dan cerdas, disadari atau tidak PKL adalah mitra strategis pemerintah. Mereka adalah orang-orang yang berusaha ketika pemerintah telah melanggar Pasal 34 UUD ’45, mereka adalah orang-orang yang berjuang ketika Pemerintah tidak dapat meyediakan jaminan sosial bagi mereka dan mereka adalah orang-orang yang berusaha dengan tidak mengharap belas kasih dari sesama, karena mereka berusaha. Jika selama ini PKL telah dijadikan alasan sebagai perusak perkotaan, bagaimana dengan Mall dan Gedung menjulang tinggi yang terus dibangun di wilayah perkotaan. Adakah jawaban pemerintah untuk ini semua?saya rasa tidak…bagaimanapun nantinya Mall-Mall dan Apartemen masih akan diresmikan oleh Kepala Negara, tetapi Mie Ayam di samping Komplek masih harus “Kucing-Kucingan” dengan Satpol PP.

wah, sebuah diskusi yang menarik. pkl (pedadang kaki lima) memang manusia yang juga butuh hidup. saya setuju dengan konsep tentang urban informality. fenomena pkl adalah bagian dari urban informality. sepakat dengan tulisan teman-teman diatas, bahwa tidak effektive menggusur pkl, karena akan memantik konflik.
kalau memang ide dari pak dede ini baik dan cocok untuk diterapkan dalam konteks indonesia, ajukan saja kepihak pemerintah agar diterjemahkan kedalam aksi nyata, agar jakarta tampil bersih dan indah dan para pkl tetap bisa berdagang dengan tertib dengan kesadaran penuh akan keindahan lingkungan. apa sih susahnya, tinggal dijalankan saja.

meMeng c pedagang kaki lima jadi masalah yang gak pernah selesai_selesai,
penertiban kaki lima yang selama ini dilakukan sama satpol pp ituh kasar banget, kenapa saya bisa mengatakan hal itu, soalnya penertiban kaki lima itu sering banget terjadi didepan kampus saya,
Memang pedagang_pedagang itu terasa menganggu,karena kita harus berjalan di jalan raya yang padet banget sama kendaraan, Tapi tanpa mereka kita mau makan dimana???

Mungkin jalan keluar yang bisa dilakukan adalah dengan tidak hanya menertibkan mreka saja, tapi ada langkah_langkah yang diambil sebagai jalan keluarnya, seperti menyediakan tempat pengganti untuk mereka berjualan.

[…] Masalah informalitas memang dihadapi kota Jakarta. Berita tentang pedagang kaki lima yang digusur tentunya bukan hal asing di telinga kita. Informalitas sudah menjadi bagian dari sebuah kota. Menurut Ananya Roy dan Nezar Alsayyad, informalitas adalah suatu moda urbanisasi yang menghubungkan berbagai kegiatan ekonomi dan ruang di kawasan perkotaan. Menurut pengamatan mereka, pada kota-kota di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia, perkembangan kawasan perkotaan disebabkan oleh urbanisasi informal. [lebih detil bisa anda baca di sini] […]

Masalah PKL adalah masalah “keberpihakan” dan bukan masalah tata ruang ataupun masalah lalu lintas macet atau masalah aparat cari obyekan.Selama tujuan utama pemerintah daerah adalah “kekuasaan dan perintah pengijon sewaktu kampanye,meskipun melawan hukum dan tidak manusiawi ,tetap akan dilakukan ” selama itu masih dalam restu cukong yang mencalonkan dia jadi pajabat.
Terasa sekali bahwa pejabat lebih berpihak pada pedangan besar yang ada di Mall. pedagang ini takut tersaing dengan pedagang tradisionil dan PKL, maka PemDa secara sistematis membunuh lawan pedagang besar tsb dengan cara : semula membiarkan dulu pkl/ pedagang pasar tradisionil kemudian setelah kelihatan maju ,baru digusur ,sehingga yang digusur tidak hanya tempatnya tetapi juga dagangannya dan langganannya,sehingga kerugian PKL lebih besar,artinya pembunuhan mata pencaharian PKL lebih mengena. Pemda tidak tunduk pada presiden tetapi tunduk pada cukong yang membeayai kampanyenya.Dan tidak takut dengan DPRD karena mereka adalah sekedar taxi bagi cukong untuk mendudukkan jagonya jadi pejabat.Cukong bebas memilih partai mana yang termurah untuk mensukseskan jagonya jadi pejabat.Saya khawatir demokrasi di negeri ini sudah tergadaikan.

bisa dijelaskan mas desammenurut perspektif weber dan durkheim, makaceh

300 RIBU MENJADI 22 JUTA DALAM 100 HARI
klik link saya

PKL memang harus ditertibkan, tapi jangan pakai kekerasan.
Saya setuju dengan relokasi adalah jln yg tepat.
Tapi saya tidak setuju kalo PKL dibiarkan saja.

Sebab kasihan para penduduk yang di depan rumah/tokonya diduduki oleh para PKL.
Sebut saja Poncol-Senen (jl.Kalibaru Timur) Jak-Pus. para pemilik rumah/toko resmi malah tidak bisa berjualan akibat terlalu bnyknya PKL yang tidak tertib dan membuat kendaraan tidak bisa masuk di jalan yang seharusnya adalah jalan Raya.
Hal ini adalah ironis karena pemerintah sudah puluhan tahun melihat masalah ini tapi tidak melakukan apa2.
Mungkin karena banyak petinggi2 yang terlalu sayang melepas setoran2 dari para PKL Poncol yang jumlahnya lumayan.
Dan dengan begitu malah melupakan hak2 para pembayar pajak yang resmi.

Semoga pemProv Jakarta dapat menindak lanjuti hal ini dengan tegas dan bijaksana.

sudut pandangnya bisa saya terima.

‘tidak tertibnya PKL’ dikarenakan tidak ada wadah atau tidak terurusnya sistem ke-PKL-an.Bukan selalu karena tidak adanya lapangan pekerjaan atau tuntutan ekonomi.

ayoo donk pemerintah,buat program yang bagus dan jangka panjang untuk PKL

Iya setuju banget PKL harus direlokasi.
Di Poncol Senen sudah jadi tempat yg sangat tidak tertib, dan terlihat mulai menjadi tempat tindakan kriminal.
Dan kalo malam kios yg tersembunyi jadi tempat utk narkoba.

Jalanan pun menjadi sangat macet akibat para PKL yg menggelar barang dagangannya di jalan2 raya.
Padahal lokasinya sangat berdekatan dengan stasiun Senen yg merupakan stasiun KA besar.

Efek buruk para PKL yg tidak tertib ini mulai meluas.

Tolong dong pemerintah segera lakukan relokasi di tempat2 PKL yg sudah sangat tidak tertib.

Definisi PKL adalah: berdagang secara liar di lokasi yang ramai dilalui manusia. Misalnya di sekitar mall, stasiun ataupun terminal. Utk itu pemerintah tidak bisa bekerja sendirian, harus menggandeng pihak-pihak lain seperti pemilik mall & pertokoan. untuk menyediakan areal bagi para PKL termasuk design kios yg cantik dan menarik, kalau perlu dengan melakukan pendataan terlebih dahulu. Sehingga keberadan PKL dan mall bisa saling bersinergi dalam menghidupkan kota.

Leave a comment

Dukung Program Berburu di Sekolah Anda

Mari jalankan dan dukung Program Berburu di sekolah-sekolah di Jakarta dan jadilah bagian dari sebuah REVOLUSI BUDAYA! Kirimkan email ke revolusibudaya@gmail.com dan daftarkan sekolah anda untuk ikut dalam Program Berburu.

Contact Us

BERBURU CENTER Jalan Cucur Timur III Blok A 7 No. 6 Sektor 4 Bintaro Jaya Tel: 62 21 736 3617 Oki: 0856 8102299 Tasa:087881521091 E-mail: revolusibudaya@gmail.com

Blog Masters

Guebukanmonyet (Washington D.C.) and Udiot (Jakarta)

Contributors

Andri Gilang (Sydney), Ian Badawi (Washington D.C.), Dejong (Washington D.C.), Sherwin Tobing (Budapest), Anggie Naditha Oktanesya (Jakarta), and Izmi Nurpratika (Jakarta).

Guest Writers

Deden Rukmana (Savannah), and Harris Iskandar (Washington, D.C.)

Categories

Gudang Artikel

Our Pictures