Jakarta Butuh Revolusi Budaya!

Dilarang Pindah ke Jakarta

Posted on: October 22, 2007

Sudah seharusnya apabila Jakarta sebagai suatu settlement memiliki residential function, labor function, dan service function. Settlement yang saya maksud di sini adalah gabungan dari beberapa area yang memiliki kesamaan sejarah, budaya dan tradisi, serta memiliki homogenitas geografis dan demografis. Sayangnya, kita semua menyaksikan bahwa perlahan-lahan Jakarta mulai kehilangan ketiga fungsi tersebut. Sebenarnya ada banyak sekali faktor yang turut berkontribusi terhadap masalah ini, namun saya ingin memberikan fokus lebih kepada besarnya skala arus urbanisasi ke Jakarta.

Deskripsi urbanisasi bukanlah semata-mata perpindahan penduduk dari desa ke kota seperti yang telah kita pelajari di bangku sekolah, saya lebih suka mendeskripsikan urbanisasi sebagai perpindahan menuju pusat dari suatu gravity zone. Gravity zone sendiri merupakan lingkup settlement yang masih berada dalam pengaruh suatu settlement besar. Seperti yang kita saksikan sendiri, Jakarta dan beberapa kota lain di pulau Jawa memiliki gaya tarik yang sangat besar, alokasi dana pembangunan yang tidak seimbang menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan dia antara kota-kota besar di pulau Jawa, khususnya Jakarta, dengan kota-kota lain di luar pulau Jawa. Saya jadi bingung, untuk apa sewaktu SD dulu saya capek-capek menghapalkan isi delapan jalur pemerataan yang mana salah satu isinya adalah hasil-hasil pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia?

Pada mulanya, Jakarta memang tampak menjanjikan kehidupan yang lebih baik, khususnya dalam hal income, sehingga masyarakat luar Jakarta berbondong-bondong mengadu nasib di Jakarta. Pada akhirnya, urbanisasi dengan jumlah yang besar inilah yang menyebabkan ledakan populasi di kota Jakarta. Orang sering kali salah kaprah dengan mengartikan ledakan populasi sebagai jumlah penduduk yang sangat besar, yang lebih tepat adalah mendefinisikan peningkatan populasi sebagai population over resources. Resources yang dimaksud di sini adalah lapangan pekerjaan dan tempat tinggal. Beberapa hal yang dapat dipakai sebagai indikator dari population over resources adalah kemiskinan, kriminalitas, dan kerusakan lingkungan hidup.

Para kaum muda Indonesia yang masih bisa ke kampus dengan kendaraan pribadi, ke mall untuk shopping setiap akhir pekan, dan ke diskotik untuk menikmati musik mungkin masih banyak yang belum menyadari bahwa kemiskinan merupakan salah satu isu utama di kota Jakarta. Lapangan kerja yang tersedia tidak mampu mengimbangi jumlah penduduk usia kerja, padahal arus perpindahan penduduk ke ibukota semakin meningkat setiap tahunnya. Di jalan-jalan ibukota kita dapat melihat dengan jelas para pengemis dan pemulung yang kebanyakan berasal dari luar Jakarta yang menggantungkan nasib hidupnya pada belas kasihan orang lain. Kebanyakan dari kaum miskin ini membangun pemukiman di kolong jembatan, di bawah jalan tol, maupun di pinggir sungai lalu hidup berdesak-desakkan di sana. Menyediakan tempat tinggal (residential function) dan lapangan pekerjaan (labor function) jelas bukan lagi merupakan fungsi kota Jakarta, dan jelas kita tak bisa memperoleh akses ke services yang ditawarkan oleh kota Jakarta apabila kita bahkan tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan.

Kerusakan lingkungan pun merupakan salah satu isu utama di kota Jakarta. Siapa sih yang tahan berjalan lama-lama dan menghirup asap kendaraan bermotor di jalan-jalan besar kota Jakarta? Bandingkan, misalnya, dengan kota-kota seperti Tokyo atau Vienna di mana berjalan berjam-jam tanpa menghirup asap adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk dilakukan. Saya terkadang suka bingung, Indonesia tuh sebenarnya kaya atau miskin? Masak bapak ke kantor naik mobil pribadi, ibu ke mall naik mobil pribadi, dan anak ke kampus naik mobil sendiri? Jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki oleh penduduk Jakarta sudah terlalu banyak, dan tampaknya jumlah kendaraan bermotor akan terus bertambah dengan drastis di tahun-tahun mendatang. Belum lagi ditambah kenyataan bahwa banyak penduduk Jakarta yang masih menggunakan kendaraan bermotor yang berusia tua yang mengeluarkan asap kendaraan yang sangat hitam. Kerusakan lingkungan semakin diperparah dengan kurangnya pohon di wilayah kota Jakarta dan sikap cuek masyarakat Jakarta yang suka seenaknya melempar sampah sembarangan.

Menyelesaikan masalah kemiskinan memang secara teori tidak terlalu susah, namun penerapannya jelas sangat susah walaupun bukan tidak mungkin. Pemerintah Indonesia, misalnya, dapat mencontoh metode yang dipakai oleh negara-negara Uni Eropa untuk mencegah arus migrasi dari daerah negara-negara Mediterrania lewat Barcelona Process. Negara-negara Uni Eropa mengharapkan bahwa dengan membantu negara-negara Mediterrania secara finansial dan meningkatkan taraf kehidupan mereka, masyarakat Mediterrania tidak akan memutuskan untuk pindah ke Eropa. Sejalan dengan ini, pemerintah Indonesia seharusnya meletakkan titik-titik pembangunan di daerah-daerah di luar Jakarta atau pulau Jawa dan mengoptimalisasi implementasi otonomi daerah.

Kerusakan lingkungan karena asap kendaraan bermotor mungkin dapat ditanggulangi dengan penerapan beberapa peraturan baru dalam dunia transportasi di kota Jakarta. Perbaikan kualitas transportasi umum yang ramah lingkungan jelas harus diprioritaskan sehingga secara tidak langsung rakyat memilih untuk memakainya. Selain untuk mengisi kas pemerintah setempat, pengurangan jumlah kendaraan pribadi diharapkan dapat mengurangi tingkat polusi udara. Penduduk Jakarta seharusnya mencontoh penduduk kota Tokyo dimana seorang direktur bank pun memilih untuk naik kereta sementara kita terlalu manja untuk naik kendaraan umum. Di saat yang bersamaan, Pemda DKI juga dapat memberikan pajak yang tinggi kepada pemilik kendaraan pribadi yang telah berusia lebih dari 5 tahun. Lebih lanjut lagi, apabila memungkinkan pemerintah dapat menerapkan Odd-Even System, yaitu menentukan hari-hari tertentu dimana kendaraan dengan nomor registrasi ganjil atau genap saja yang boleh digunakan di jalan-jalan ibukota.

Sejauh ini, salah satu bentuk usaha nyata pemerintah dalam menanggulangi masalah ledakan populasi di Jakarta adalah melalui Peraturan Daerah No.4 Tahun 2004, yaitu dengan memberikan opsi kurungan 3 bulan atau denda sebesar Rp 5 juta bagi mereka yang bertempat tinggal di Jakarta dan tidak sesuai dengan KTP yang mereka miliki.

Jakarta sudah terlalu padat, mari kita kembalikan fungsi utama kota Jakarta sebagai suatu settlement.

Foto diambil dari sini.

27 Responses to "Dilarang Pindah ke Jakarta"

bagi kontributor yang tinggal di luar jakarta juga dilarang pindah ke jakarta hehee :mrgreen:

jakarta udah mulai turun pamor, bahkan orang yang tinggal di desa aja lebih milih kerja jadi TKI TKW daripada ke Jakarta….

buat yg tinggal di luar dijamin wogah dateng ke jakarta, tambah semrawut, tambah rame, tambah panas, gak ada salju pula hehehe….

Hidup di Jakarta, rumusnya barangkali sederhana saja … lupa (itu kutipan puisi)

Lupa bahwa kita sering terjebak macet, susah anggutan umum, polusi mengisi full udara kita … and masih banyak lagi, dan entah kenapa kita sering melupakannya dan setia saja pada Jakarta … mudah-mudahan banyak yang berani tagih janji Bang Foke … agar Jakarta bisa lebih baik … nice article

@pak dedidwitagama

mungkin gak melulu berarti lupa ya pak?! bisa aja karena kepepet jadi dijalani aja suka duka hidup di jakarta atau bagi yang bersyukur dan cerdas, masalah2 tsb segera ia atasi misalnya susah angkutan umum ya beli aja motor/mobil meski harus lebih rajin dan giat cari uang halal dan rajin nabung why not?! ini lah konsekuensi hidup di jakarta. atau terjebak macet….meski tau jalan tikus jakarta yang bebas macet atau tau peak hour-nya jakarta jadi jarang terjebak kemacetan.

kira-kira gitu deh 😀 salam

Jakarta khan ibukota nya Indonesia, peraturannya seabrek hingga lupa Perda apa saja itu. Masalahnya adalah… Perda nya tidak berfungsi dengan MAKSIMAL, dan jurus untuk mengeles ketidak maksimalan tersebut dikarenakan “Aparat” yg kurang mendukung. Klasik memang alasan tersebut.

Manusia dimanapun sama, baik di Tokyo, Surabaya, Kualalumpur atau Jakarta sendiri. Si Sipit dinegara China, kenapa bisa teratur dan mengerti peraturan. Serumpun “melayu”dengan negeri kita yaitu Kualalumpur, warganya patuh dengan peraturan juga tahu akan sangsi. Itu semua karena peraturan yg diterapkan secara benar dan maksimal.

Benar dan maksimal yg bagaimana sih penerapannya, nah…. kita bisa tanyakan ke Foke atau meminta tanggung jawab nya.

@yonna:
wah kalo gak boleh balik ntar tinggal dimana donk saya? hehe..

@pak dedi:
betul Pak, dan jangan lupa, jangan nagih janji doank, kita juga membantu merealisasikannya..

@ono:
hhm, China tampaknya bukan contoh yang tepat kawan, terlepas dari kekuatan ekonominya, saya pribadi merasa China juga masih membutuhkan semacam revolusi budaya..

kembali ke komen anda, saya rasa peraturan yang baik adalah peraturan yang logis, tidak rancu dan disertai sanksi yang tegas.. di sisi lain, masyarakat sendiri juga perlu menumbuhkan perasaan “keren” kalo menaati peraturan yang berlaku, dan bukannya bersikap “peraturan ada untuk dilanggar” seperti yang saudara monyet kemukakan di salah satu artikel website ini..

Ide yang bagus tentang pengurangan kendaraan bermotor setidaknya mengurangi polusi di Jakarta, tapi gimana realisasi nya selama jepang masih jadi penyandang dana terbesar bagi sumber hutang negara kita, sehingga investasi mereka khususnya pada kendaraan bermotor yang terus meningkat secara produksi akan berdampak pada usaha pemerintah dalam mengurangi jumlah kendaraan secara kuantitas? akan menjadi dilema antara terputus nya sumber investasi atau mengorbankan perbaikan kondisi wilayah khususnya Jakarta.

@gilang:
sebuah kondisi yang penuh dengan dilema memang, sekarang tinggal kita tanya kembali ke diri masing2, mana yang kita prioritaskan terlebih dahulu untuk saat ini, hehe..

@gilang, sherwin n all
kalo mau ngurangin polusi, bisa naek sepeda atau jalan kaki atau pake hybrid? nah kalo naek sepeda dan jalan kaki berarti pemda kudu menyediakan fasilitas bicycle way dan pedestrian way yang selama ini gak optimal fungsinya. kita bisa minta dibuatkan sepeda dengan desain khusus misalnya sepeda yang ada atapnya untuk menghalangi panasnya Jakarta, desain helm sepeda yang mirip ma helm motor yang ada penutup wajah (kalo gak mau mukanya cemong kena knalpot :mrgreen: )….trus menyediakan pedestrian way yang nyaman dan aman.

ah tapi siapa yang mau mengerjakan? pasti ide ini cuma diketawain karena pelaksanaannya gak gampang. cape de

@yonna:
naek sepeda ama jalan kaki kan rada susah buat orang Indonesia, ya itulah kita, kere tapi belagu, haha.. percuma nantinya, udah susah2 pelebaran jalan pake ngegusur tanah warga, gak dimanfaatin juga jalan buat pejalan kaki ama pengendara sepedanya..

saya rasa odd-even system yang telah saya sampaikan sebenernya bisa saja loh buat diterapkan, gimana menurut kalian?

Bener ki gue setuju dengan odd-even system, tetapi gue lebih setuju lagi kalo ada pembatasan pemilikan kendaraan bermotor untuk tiap keluarga, untuk 1 keluarga hanya wajib memiliki 2 kendaraan baik itu motor atau mobil dan yang paling penting adalah sangsi yang harus tegas. Sang pemilik peraturan juga harus melihat permasalahan transportasi di Jakarta secara holistic, tidak bisa hanya membenahi dari satu sisi sedangkan sisi yang lain tidak dibenahi. Misal busway, senyaman apapun busway jika Pemda tidak mendukungnya dalam penyediaan Feeder yang baik dan keamanan yang menjamin, sudah tentu hanya kurang dari sebagian penduduk Jakarta yang menggunakannya padahal untuk pembuatan busway memakan biaya yang tidak sedikit, Sukses buat Yuki untuk jadi Menteri Perhubungan hahaha, sukses

kalo saya suka jalan kaki, sekalian olahraga kan 😀

walah kalo ribet gini, mending bedol desa ke hongaria aja deh hahaha

Sesak penuh sudah di jakarta, lebih baik di sini (bandung) rumah kita sendiri

http://ilovebandung.wordpress.com

@deniar
mending kita bikin penuh hongaria aja, biar sherwin diprotes warga sana hehehe

Orang2 berbondong2 pindah ke jakarta karena mereka berfikir kalau di jakarta mereka akan lebih bisa mencari makan dibandingkan kalau mereka di daerah masing-masing..
Mereka yang “pindah” ke jakarta ini karena di daerahnya tidak menyediakan lapangan pekerjaan,, yang berpendidikan rendah dan ga punya modal hanya bisa jual otot,, gampangnya jadi buruh,, tapi kita liat aja kenyataan yang ada,, kota mana sih yang butuh banyak buruh? ya kota dengan banyak pabrik dan tempat usaha? trus itu di kota mana? di kota kecil macem Blora? Slawi? Mojokerto? yang ada ya di Jakarta,,
Kalau mereka masih hidup di daerah kecil “bukan penghasil apa-apa” sementara mereka tak punya tanah untuk ditanami,, dan pekerjaan untuk menghidupi,, mereka ga bisa makan dong,, ada kok banyaaak di Indonesia ini,, di pulau jawa yang katanya paling maju dari pulau lain,, yang orang makan karak (nasi yang dikeringkan, biasanya nasi kemaren yang tersisa dan dijemur) dan karak itupun mereka beli,, suruh mereka jangan “pindah” ke Jakarta,, sama saja menyuruh mereka bunuh diri,,
Sementara di Jakarta mereka “menengadahkan tangan” aja bisa dapet duit banyak kenapa mereka harus bunuh diri di kampungnya???
Saya cuma mau bilang kalo anda berani bilang “DILARANG PINDAH KE JAKARTA” Anda semua juga harus berani bertanggung jawab atas hidup mereka2 ini,,

Jangan salahkan mereka yang pindah ke jakarta karena di daerah tidak menyediakan lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Salahkanlah pemerintah yang tidak bisa membangun Indonesia secara lebih merata. Pembangunan dari dulu hanya berpusat di Jawa (Jawa centris) dan Jakarta centris.
Mayoritas uang beredar di jakarta dan sekitarnya.
Siapakah yang salah kalau begitu?
Atau dua faktor yang menyebabkan orang pindah ke jakarta.
Pertama, faktor penarik, yaitu yang berasal dari kemajuan jakarta sendiri.
Kedua, faktor pendorong, yaitu karena daerah tempat asal mereka tidak menyediakan fasilitas yang memadai, penghasilan yang memadai, kesejahteraan yang memadai…
Jangankah di luar jawa, di jawa saja masih banyak ketertinggalan. Cobalah, sekali-kali datang ke daerah. Di sana akan banyak terdapat jurang perbedaan. Kalau di jakarta, para eksekutif banyak yang membicarakan model HP keluaran terbaru, maka di daerah, kita bisa melihat bahwa pulsa yang terjual rata-rata nilai voucher-nya lebih kecil. Atau ketertinggalan pendidikan. Masih banyak SD yang roboh di pulau Jawa.
Itu baru sebagian kecil. Maka sangat wajar jika orang banyak berbondong-bondong ke jakarta.
Siapa yang salah????
Kalau misalnya makin banyak polusi di jakarta, orang lebih memilih naik motor. Toh, itu karena sarana transportasi umum yang tidak nyaman. Pemerintah DKI saja yang tidak menyediakan fasilitas publik yang nyaman. Apalagi Sang Mantan Gubernur (Sutiyoso) malah mau maju sebagai calon presiden. Walah….bisa-bisa kota-kota di Indonesia bakal jadi macet semua, hahaha………….
Waa….Jakarta itu memang butuh rombakan besar…
Kalau mau langkah ekstrim, IBUKOTA INDONESIA harus dipindah..
Biar pembangunan di Indonesia ini bisa lebih merata. Jangan melulu membangun Jakarta. Kalau nunggu budaya manusia berubah, ya itu waktu lama………..banget.
Yang dibutuhkan adalah kemauan politik yang kuat.

http://mapresiden.wordpress.com/

sesama kontributor boleh lah saling membela :mrgreen:

@Nia dan aripmuttaqien
sabar ya mbak nia, pak aripmuttaqien, ojo nesu dulu….jenengan bener kok karena kenyataan yang mengatakannya, bahwa mimpi orang daerah akan Jakarta gak jauh beda ama yang dulu….belum lagi mendengar kabar sanak saudaranya yang duluan merantau ke Jakarta ternyata sukses.

cuma harus terima kenyataan juga kalo hidup di Jakarta itu keras dan kejam. bahkan ada pameo yang diangkat dari kisah nyata “Orang daerah merantau ke Jakarta, orang Betawi sendiri merantau ke daerah” gimana sih malah tukeran penduduk jadinya? :mrgreen:

^^v bukan marah.. cuma mencoba membela rakyat kecil yang seumur hidupnya cuma disalahkan tanpa mereka sendiri tahu kalau mereka itu salah apa,,
Saya sih salut sama Anda2 semua yang ikut gelisah melihat kondisi bangsa ini,,
Bukankah memang tertulis di sejarah kalau penggerak perubahan itu adalah anak-anak muda yang gelisah melihat kondisi bangsanya??
Semoga saya dan Anda bisa memberikan kontribusi untuk kemajuan bangsa ini,, ^^

@Nia
oke akur piisss :mrgreen:

trims ma penjelasannya, ya anda betul kita patut mengasihani mereka yang belum tahu Jakarta kayak apa, harus dikasih tau supaya angan2 yang melambung tinggi bisa diiringi dengan usaha yang tinggi pula 😀

ya kalo cuma gelisah doang mah gak bakal ada perubahan hehehehe

Siapa yang marah?
Ada-ada saja….
Emang bisa keliatan tampang marah?
Yang ada sich, pikiran lagi pusing dengan pekerjaan di kantor.
Sebagai salah seorang yang ikut arus ‘urbanisasi’ ke jakarta, berarti mau tidak mau harus ikut dengan kehidupan jakarta.
Salam kenal…

@aripmuttaqien
heeh…kliatan dari tulisannya yang panjang dan berapi-api :mrgreen:

hehe maklum senasib soalnya, pikiran mumet ma urusan kantor blog jadi pelarian hehehe

@udiot:
saya juga setuju mengenai pembatasan jumlah kendaraan yang bisa dimiliki oleh suatu keluarga, dan perbaikan kualitas dan juga mungkin kuantitas kendaraan umum bisa menjadi solusi yang sangat gemilang bagi pemecahan masalah kerusakan lingkungan, keamanan dalam bertransportasi, kemacetan dan efisiensi transportasi di Indonesia. terima kasih kawan komennya, hehe..

@nia:
kalau anda membaca artikelnya dengan teliti, dan saya yakin anda sudah, tentu anda sudah menangkap bahwa esensi artikel ini lebih ke arah anjuran untuk tidak pindah ke Jakarta karena berbagai alasan, bukan larangan tepatnya.

ya saya tau dan paham benar bahwa tetap ada kemungkinan bahwa mereka akan memperoleh penghidupan yang lebih layak di Jakarta.. contoh saya pernah membaca ada orang yang pindah ke Jakarta dari Ngawi dengan hampir tak ada modal apapun, dan setelah di Jakarta selama 10 tahun dia bisa memiliki bengkel pribadi berpenghasilan 30 juta sebulan..namun, saya yakin nia juga tahu bukan bahwa pada beberapa kasus, para peserta kegiatan urbanisasi tersebut tidak terbatas kepada orang2 yang tidak memiliki lahan saja di kampung, akibatnya lahan mereka di desa kehilangan tenaga penggarap.. lebih lanjut lagi, saya rasa (ini sekedar opini pribadi), sebelum pindah ke Jakarta ada lebih baiknya mereka membekali diri mereka dengan keterampilan khusus yang tidak jarang orang bisa lakukan, dan inilah yang dilakukan si pemilik bengkel yang saya sebutkan di atas, beliau memiliki spesialisasi pemasangan jok mobil misalnya.. NB: tetap tidak menjamin 100% mereka akan sukses..

@aripmuttaqien:
anda menulis: “Jangan salahkan mereka yang pindah ke jakarta karena di daerah tidak menyediakan lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Salahkanlah pemerintah yang tidak bisa membangun Indonesia secara lebih merata. Pembangunan dari dulu hanya berpusat di Jawa (Jawa centris) dan Jakarta centris.”

sudah baca kan artikelnya secara lengkap? saya telah menuliskan dengan jelas bahwa saya turut menyalahkan pemerintah pusat dengan pemusatan pembangunan di jakarta saja bukan?

saya setuju dengan deskripsi anda mengenai faktor penarik dan pendorong, dan anda juga dengan gamblang telah menjelaskan bahwa di beberapa daerah jawa saja pembangunan masih terbelakang, nah bayangkan sekarang yang di luar Jawa, saya pribadi juga bukan orang Jawa kok, dan merasa sangat miris setiap kali pulang kampung dan memandang kemiskinan di tanah suku saya.. gimana pula dengan di Irian misalnya? pemerintah sejak tahun 2001 telah menyediakan dana khusus pembangunan untuk di Irian, dan apa hasilnya? hhm, saya teringat beberapa waktu lalu ada laporan khusus RCTI mengenai ini di Irian.

oh ya, saya juga telah menyebutkan solusi masalah urbaniasi seperti pendekatan ala Barcelona Process, dan seperti yang mas sebutkan faktor pendorong dari desa sendiri kan “daerah tempat asal mereka tidak menyediakan fasilitas yang memadai, penghasilan yang memadai, kesejahteraan yang memadai…”
Nah seharusnya Barcelona process bisa menjadi pemecahan, tinggal tergantung willingness saja..

@yonna:
makasih mbak yonna, hehe..
inget juga tuh mbak yonna kata “Jakarta itu kota yang keras”..

@nia lagi:
sekali lagi silahkan sebutkan siapa yang menyalahkan rakyat kecil nia? hehe.. hayoo, jangan ditebak dari judul artikelnya saja donk nia, coba dibaca yang saya salahkan siapa.. makasih loh nia komennya, I appreciate that.. salam kenal nia.

@aripmutaqqien:
hai kawan, salam kenal juga, makasih komennya, saya hargai itu.. hehe.. turut senang mas tampaknya masuk ke kalangan yang beruntung bisa kerja di perkantoran, saya doakan supaya sukses terus mas..

@yonna lagi:
hehe, yonna bisa aja, mumet2 juga tulisannya keren2..

NB: Saya tidak menimpakan kesalahan ke para peserta urbanisasi yang tidak sukses, silahkan dibaca artikelnya dan dikaji maknanya dengan lebih mendalam.. tambahan lagi, tak ada gading yang tak retak, artikel ini pun hanyalah pikiran saya semata-mata saja, dan jelas jauh dari kesempurnaan..

yang bikin negara ini rusak, ya…banyak korupsi. Akhirnya Indonesia tetap seperti ini. Mental ga dibangun tuh..
Gila nih, negara ini bisa tambah parah kedepannya. Semoga aja banyak orang-orang yang masih berpikir kritis, termasuk para pemuda.
Kerja di kantoran tuh ada enaknya dan ada ga enaknya.
Ga enaknya, tidak banyak bisa kontribusi untuk masyarakat secara langsung.
Enaknya, salah satunya dapet akses internet gratis dan bisa ngasih comment di blog ini, hehehe…

Hehehe…dasar Arip, jangan baca blog aja kalo lagi kerja, sekalian cek email, baca berita, dengerin musik ^_^

Kenapa kita tidak memulai dari diri sendiri untuk melakukan perubahan semampu dan sekecil apapun yang kita bisa terhadap daerah asal kita .
Misal :
1. Bila sudah pada berhasil di jakarta jangan lupa untuk berpartisipasi membangun daerahnya.
2. Bagi Anda2 yang bekerja di Pemerintahan Pusat dan Daerah buatlah aturan2,undang2 yang akan meningkatkan perekonomian daerah.
3. Bagi Anda2 yang kerja di swasta berikan kontribusi optimal kepada perusahaan tempat anda bekerja sehingga makin maju dan membuka cabang di daerah2.
4. Bagi para pengusaha,cubalah lebih tertantang untuk membuka lapangan pekerjaan di daerah2. Karena setiap daerah PASTI punya potensi yang bisa dikembangkan untuk lebih maju.
5. Bagi yang belum bekerja, jangan pasrah dan putus asa. Dibalik kesempitan pasti ada keleluasaan.
6. Jangan bergantung terhadap pemerintah. Buatlah perubahan yang berarti bagi daerah asal Anda dengan kemampuan yang ada.
7. Jangan lupa berdoa dan bersabar karena perlu proses dan waktu untuk merasakan hasilnya.

OK, gw seneng dengernya banyak dari kita yg berpikiran progresif dan mau membela kaum miskin 🙂 Dan terima kasih ke blog ini, akhirnya gw juga tau tentang Barcelona Process (walaupun sepertinya idenya pun suatu common sense).

Tapi mungkin yg sangat sentral dalam perubahan kota Jakarta adalah point nomor 6 dari si doel: “Jangan bergantung terhadap pemerintah. Buatlah perubahan yang berarti bagi daerah asal Anda dengan kemampuan yang ada”. Menurut gw ini sangat krusial ke perubahan Jakarta secara total, andaikan penduduk Jakarta mau terlepas dari paradigma voting, tax paying and charity. Voting, dibuktikan oleh 60+ tahun Indonesia berdiri, hampir tidak pernah memberikan hasil yg kongkrit (yg ada kita di bohongin melulu 😦 ). Tax paying, sayangnya, sering kali membuat warga berpikir “oh, kan udah bayar tax, jadi sekarang tanggung jawab pemerintah untuk ngebenerin kota kita.” Dan act of charity, sebaik mungkin niatnya, seringnya adalah sesuatu yg one off; dilakukan untuk peace of mind individual, dan seringnya tidak lah sustainable. Gw bukannya menyarankan supaya jangan melakukannya lagi, tapi kita harus bertindak lebih demi perubahan.

Memang gak bisa dipungkiri bahwa perbaikan kota Jakarta adalah hal yg susah dan kompleks. Tapi justru disini lah dibutuhkan tenaga2 extra, tenaga2 penduduk lokal. Mungkin kita bisa kembangkan lagi suatu ide lama… gotong royong! 🙂 Semakin banyak warga yg merasa responsible terhadap kota Jakarta secara holistik, semakin baik progres kita ke arah yg lebih baik. Gw gak bisa untuk merincikan apa saja hal2 yg bisa dilakukan secara komunal demi perbaikan Jakarta, karena ini terserah setiap individu maunya ngapain, yg penting bentuk kongkrit!

Hal yg sama juga seharusnya bisa diterapkan ke luar daerah Jakarta. Contohnya Riau, yg sering kali memenangi penghargaan Adi Pura, bisa terus berkembang. Medan pun secara ekonomi tidak buruk. Walaupun kota2 tersebut tidak seimbang dengan Jakarta dalam banyak hal, disini lah pemerintah kota harus terus, secara gradual dan cepat, menekankan otonomi yg lebih ke pemerintahan daerah. Semakin baiknya keadaan di luar Jakarta, dan semakin banyaknya kota2 yg menarik, akan semakin baik distribusi urbanisasi di Indonesia.

Urbanisasi akan terus ada, menurut gw ini bukan masalah pemblokan atau pengusiran orang2 yg sudah ada (yg sayangnya adalah posisi pemerintah), tapi masalah besarnya disparity antara yg kaya (kota Jakarta) dan yg miskin (kota non Jakarta).

Salam kenal nih 🙂

[…] sempat merenung lama, akhirnya ketemu juga judul ini. Kalau dianggap sebagai antonimnya artikel Dilarang Pindah ke Jakarta maka anggapan tersebut benar 100 […]

you did a great job . i really appreciated that . i’ll come back later.

Leave a reply to sherwin Cancel reply

Dukung Program Berburu di Sekolah Anda

Mari jalankan dan dukung Program Berburu di sekolah-sekolah di Jakarta dan jadilah bagian dari sebuah REVOLUSI BUDAYA! Kirimkan email ke revolusibudaya@gmail.com dan daftarkan sekolah anda untuk ikut dalam Program Berburu.

Contact Us

BERBURU CENTER Jalan Cucur Timur III Blok A 7 No. 6 Sektor 4 Bintaro Jaya Tel: 62 21 736 3617 Oki: 0856 8102299 Tasa:087881521091 E-mail: revolusibudaya@gmail.com

Blog Masters

Guebukanmonyet (Washington D.C.) and Udiot (Jakarta)

Contributors

Andri Gilang (Sydney), Ian Badawi (Washington D.C.), Dejong (Washington D.C.), Sherwin Tobing (Budapest), Anggie Naditha Oktanesya (Jakarta), and Izmi Nurpratika (Jakarta).

Guest Writers

Deden Rukmana (Savannah), and Harris Iskandar (Washington, D.C.)

Categories

Gudang Artikel

Our Pictures